KERATON SURAKARTA
Keraton (Istana) Surakarta merupakan
salah satu bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini
adalah Pangeran Mangkubumi
(kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I)
yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton
tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki
persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang
ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-45, namun dibangun secara bertahap
dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya.
Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh
Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB
X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini
bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.
Salah satu ruangan Keraton pada
zaman Pakubuwono X, gaya arsitektur jawa dipertahankan dalam bentuk bangunan
namun di dalamnya diisi dengan berbagai macam perabotan Eropa, foto diambil
tahun 1910. Koleksi Tropenmuseum, Belanda.
Secara umum pembagian keraton
meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa,
Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara,
Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan,
Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan (?) dan Kemandungan Kidul/Selatan,
serta Kompleks Sitihinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks
keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan
tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa
anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang.
Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh
ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan
Lor/Utara sampai Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Sitihinggil
dan Alun-alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini.
Kompleks
Alun-alun Lor/Utara
Kompleks ini meliputi Gladhag,
Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid Agung Surakarta.
Gladhag yang sekarang dikenal dengan perempatan Gladhag di Jalan Slamet Riyadi
Surakarta, pada zaman dulu digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan
yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya
upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alunmenjadi
tempat bertemunya raja dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah
pohon beringin. Di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus
benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon
ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi
nama Dewodaru dan Joyodaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Mesjid
Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi
kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750
(Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari
atas serambi dan masjid induk.
Kompleks
Sasana Sumewa dan kompleks Sitihinggil Lor/Utara
Sasana Sumewa merupakan bangunan
utama terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai
tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara
resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya di beri
nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada
masa pemerintahan Sultan Agung. Di
sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat kompleks Sitihinggil.
Sitihinggil merupakan suatu kompleks
yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini
memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil
dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga
Sitihinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat
pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut
dengan Selo Pamecat.
Bangunan utama di kompleks
Sitihinggil adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam
menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil,
tempat tahta Susuhunan, dan Bangsal Witono, tempat persemayaman Pusaka
Kebesaran Kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini
memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan
Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi,
sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks
Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang
disebut dengan Supit Urang (harfiah=capit udang).
Kompleks
Kemandungan Lor/Utara
Kori Kamandungan dilihat dari arah halaman Kemandungan Lor dengan Bale Roto
didepannya dan Panggung Sangga Buwana yang menjulang tinggi sebagai latar
belakang.
Kori Brajanala (brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang
masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kemandungan utara. Gerbang ini
sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh
dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan jalan sapit urang
dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono
III dengan gaya Semar Tinandu. Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur)
dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto tempat jaga
pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di
tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang
terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula
dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana
(Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri
Manganti.
Kompleks
Sri Manganti
Untuk memasuki kompleks ini dari
sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori
Kamandungan. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru
dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini
terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari
senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini
disebut dengan Bendero Gulo Klopo. Di halaman Sri Manganti terdapat dua
bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal
Marcukundha di sebelah timur.
Pada zamannya Bangsal Smarakatha
digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati
Lebet ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat
para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan
mendalang. Bangsal Marcukundha pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir
prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat
untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat raja. Sekarang tempat ini untuk
menyimpan Krobongan Madirenggo, sebuah tempat untuk upacara sunat/kitan
para putra Susuhunan.
Di sisi barat daya Bangsal
Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung
Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini
sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman
Kedhaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton.
Kompleks
Kedhaton
Susuhunan Pakubuwono X (membelakangi
kamera) mengucapkan salam perpisahan kepada Sultan Hamengkubuwono VII
di halaman Kedhaton, foto diambil ketika Sultan Hamengkubuwono berkunjung ke
Solo beserta dengan Putra Mahkota dan Sri Paku Alam antara tahun 1910-30. Koleksi
Tropenmuseum, Belanda
Kori Sri Manganti menjadi pintu
untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh
Susuhunan Pakubuwono IV pada 1792
ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat
dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar
Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan
dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias diatas pintu. Halaman
Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh
berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara
kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi
dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama
diantaranya adalah Sasana Sewaka, nDalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina,
dan Panggung Sangga Buwana.
Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Tempat ini pernah mengalami sebuah
kebakaran pada tahun 1985. Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta
dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja.
Di sebelah barat Sasana ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah
peringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat nDalem Ageng Prabasuyasa.
Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton
Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga
tahta raja yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula seorang raja
bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak
di Sitihinggil utara.
Bangunan berikutnya adalah Sasana
Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi
kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala
dinner tamu asing yang datang ke kota Solo. Bangunan utama lainnya adalah Panggung
Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan
sekaligus untuk mengawasi benteng VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari
istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat
posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat
ornamen yang melambangkan tahun dibangunnya menara tertua di kota Surakarta.
Bangunan Sasana Sewaka di
dalam halaman Kedhaton pada zaman Pakubuwono X, bangunan ini dikelilingi dengan
patung-patung bergaya Eropa, foto diambil tahun 1910. Koleksi Tropenmuseum,
Belanda.
Sebelah barat kompleks Kedhaton
merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk
dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya.
Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi raja dan keluarga kerajaan yang
masih digunakan hingga sekarang.
Kompleks-kompleks
Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan, serta Sitihinggil Kidul (Selatan)
Kompleks Magangan dahulunya
digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah
pendapa di tengah-tengah halaman. Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti
Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman
yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir,
Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul, memiliki sebuah
bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton
yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.
Warisan
Budaya
Para tamu agung pada perhelatan ke
empat Pisowanan Agung Tingalan Dalem Jumenengan SISKS. Pako Boewono XIII
Selain memiliki kemegahan bangunan
Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya
adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara
adat yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan
upacara Malam Satu Suro. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini
hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang
harus dilindungi.
Garebeg
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun
kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud
(bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal
sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut raja
mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas
kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan
yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan
perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah
atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang
panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik,
dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya
dipasangi rangkaian bendera Indonesia
dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga
yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering
yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan
runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.
Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama
tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan
sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten
berasal dari istilah credo dalam agama Islam,
Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan
Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton
untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari
keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa,
kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (Jw: ditabuh)
menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan
keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu
juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum
penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.
Kirab
Mubeng Beteng utawa Malam Satu Suro
Malam satu suro dalam masyarakat
Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam satu suro
jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa
(30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun
berikutnya (1 Suro). Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab
Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai
dari kompleks Kemandungan utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengitari
seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan
berakhir di halaman Kemandungan utara. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi
bagian utama dan diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para
pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah
di barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang
diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
Pusaka
(heirloom) dan tari-tarian sakral
Tarian Sakral Bedhoyo Ketawang
Keraton Surakarta memiliki sejumlah
koleksi pusaka kerajaan diantaranya berupa singgasana raja, perangkat musik
gamelan dan koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah Kyai
Guntursari dan Kyai Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada
saat upacara Sekaten. Selain memiliki pusaka keraton Surakarta juga memiliki
tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai
contoh tarian sakral adalah Bedaya Ketawang yang dipentaskan pada saat
pemahkotaan raja.
Pemangku
Adat Jawa Surakarta
Semula keraton Surakarta merupakan
Lembaga Istana (Imperial House) yang mengurusi raja dan keluarga
kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta.
Setelah Kesunanan Surakarta dinyatakan hapus oleh pemerintah Indonesia pada
tahun 1946, peran keraton Surakarta tidak lebih sebagai
Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula Susuhunan
tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dala artian
politik melainkan sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, pemimpin
informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga
identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang
terbatas pada sektor informal namun keraton Surakarta tetap memiliki kharisma
tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas daerah Kesunanan
Surakarta. Selain itu keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan
kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada
budaya Jawa khususnya Surakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan
darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdidalem) keraton.
Filosofi
dan Mitologi seputar Keraton
Setiap nama bangunan maupun upacara,
bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi
suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing.
Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang
mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian. Beberapa diantaranya akan
ditunjukkan dalam paragraf berikut.
Cermin besar di kanan dan kiri Kori
Kemadungan mengadung makna introspeksi diri. Nama Kemandungan sendiri
berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha
berasal dari kata Marcu yang berarti api dan kundho yang berarti
wadah/tempat, sehingga Marcukundho melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung
Sangga Buwana adalah simbol Lingga dan Kori Sri Manganti di
sebelah baratnya adalah simbol Yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat
Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal
dengan adanya sedekah raja yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan
sedekah yang bergunung-gunung.
Selain itu keraton Surakarta juga
memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat.
Seperti makna filosofi yang semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda
inipun juga semakin menghilang. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan
sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka
mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan
yang baik maupun yang lainnya.
Selain itu ada legenda mengenai usia
Nagari Surakarta. Ketika istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa
kerajaan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus
tahun maka kekuasaan raja hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (Jw: kari
sak megare payung). Legenda inipun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan
yang terjadi. Apabila dihitung dari penempatan istana secara resmi pada 1745/6
maka dua ratus tahun kemudian pada 1945 Indonesia merdeka kekuasaan Kesusnanan
benar-benar merosot. Setahun kemudian pada 1946 Kesunanan Surakarta benar-benar
dihapus dan kekuasaan Susuhunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas
kerabat dekatnya saja.